Pangsa Pasar Jamu Tradisional Kian Lebar


Omset penjualan jamu tradisional secara nasional terus mengalami kenaikan. Tahun 2011 lalu menembus angka Rp. 11,5 triliun.  Yang paling laku adalah jamu-jamu dalam bentuk ekstrak dan aromaterapi.  Kab Sukoharjo, Jawa Tengah, bahkan memiliki sentra distribusi dan penjualan jamu tradisional sendiri untuk memaksimalkan potensi ekonomi dari produk kesehatan warisan leluhur ini.
Seorang wanita setengah baya berkebaya lurik menggendong bakul berisi botol-botol jamu di bawah terik. Seraya mengangkat ember di tangan kirinya, wanita itu mencengkeram erat selendang batik yang melilit dada hingga bakul di punggungnya. Senyumnya terus mengembang dari sela-sela parasnya yang memancarkan keayuan dan kesahajaan alami. Tatapan optimisnya begitu sempurna, seolah tak bakal sirna oleh hujan dan panas yang setiap saat menguntitnya. 
Ya, meski hanya patung yang terbuat dari batu kali berwarna hitam dengan tinggi 1,6 M, sosok  Mbok Jamu Gendong itu telah lama menjadi simbol pengakuan Kab Sukoharjo terhadap para penjual jamu gendong sebagai penggerak roda perekonomian rakyat yang tak hanya sekedar mencari keutungan, tetapi juga melestarikan tradisi dan kekayaan budaya nenek moyang.  
Monumen itu juga merupakan perlambang komitmen Sukoharjo untuk terus menjadikan jamu tradisional dengan pelbagai jenis dan macamnya sebagai produk khas daerah yang mampu menopang kehidupan ekonomi daerah. Modal sumber daya dan infrastruktur untuk itu pun sudah tersedia. Karena, bicara soal Sukoharjo, pasti orang akan teringat dengan Desa Nguter, yaitu sebuah desa yang telah sekian puluh tahun menjadi sentra produksi sekaligus pusat pemasaran jamu-jamu tradisional.
Untuk diketahui, usaha jamu rumahan yang tumbuh di Desa Nguter ini sudah ada mulai sekitar tahun 1965 dan berkembang pada tahun 1977, tepatnya setelah terbentuknya Koperasi Jamu Indonesia (KOJAI) di Sukoharjo. Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sukoharjo, pada Okteber 2011, terdapat sekitar 60-an pengrajin jamu di Nguter, baik  pengrajin dengan skala besar hingga kecil.
Dalam aktivitasnya, para pengrajin skala kecil, masih menggunakan peralatan yang  masih sederhana, seperti pipisan, lumpang, hingga tumbuk. Sedangkan pelaku industri jamu dengan skala besar sudah mulai menggunakan mesin, khususnya untuk mesin pengering, giling serta  penghalus. Jamu yang dihasilkan dari daerah ini pun sangat variatif. Mulai dari  jamu subur kandungan, ginseng, sehat perempuan, sehat laki-laki, sariawan, sari rapet, darah tinggi, reumatik, sakit kepala, pegal linu, hingga jamu vitalitas laki-laki.
Menurut Kepala Disperindag Sukoharjo, Supangat, investasi yang ditanamkan pengusaha jamu mencapai miliaran rupiah. Sehingga, nilai produksi setiap tahun bisa mencapai Rp. 3 miliar ke atas. Dengan hasil yang cukup besar, industri jamu di Nguter mampu mengangkat perekonomian masyarakat.  Dan faktanya, hingga saat ini jamu tradisional memang masih menjadi sumber ekonomi andalan mayoritas warga Desa Nguter yang memiliki luas sekitar 324,4385 hektar ini.
Di antara mereka, selain ada yang menjadi produsen jamu rumahan, ada puluhan warga yang berprofesi sebagai penjual jamu gendong dan ada pula yang menjadi distributor hasil produksi jamu rumahan produksi warga setempat dengan membuka toko-toko skala kecil, baik di rumah mereka sendiri maupun di Pasar Nguter, yang selama ini dikenal masyarakat luas sebagai pusat distribusi jamu rumahan desa Nguter.
Melalui toko-toko jamu warga dan juga yang ada di Pasar Nguter itulah beberapa merek jamu dari daerah ini berhasil menembus pasar nasional, bahkan internasional. Sebut saja misalnya jamu dengan merek Kresno, Anoman, Werkudoro, Gatotkaca, Narodo, Bisma, Wisanggeni, Sabdo Palon, dan Gujati.
Merek-merek tersebut bahkan tidak hanya dikenal di pulau Jawa saja, tetapi juga sampai ke Kalimantan. Dan biasanya, untuk menjangkau pasar luar Jawa, seperti Sumatera dan Kalimantan itu para distributor setempat sudah memiliki agen dan penyalur di daerah-daerah tujuan yang tersebar di berbagai kota.
Yang menakjubkan, ternyata omset penjualan jamu tradisional pun secara nasional cukup fantastis. Menurut Ketua Gabungan Pengusaha Jamu Indonesia (GPJI), Charles Saerang, nilai omzet jamu secara nasional meningkat dari Tahun 2011 yang mencapai Rp. 11,5 triliun. “Ini harus diapresiasi. Sayang bila tidak dikelola dengan baik dan maksimal,” papar  Charles belum lama ini di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (12/6).
Kenaikan omzet industri jamu nasional sudah terjadi sejak 2006. Puncaknya terjadi di 2010 yang nilainya naik dari Rp. 8,5 triliun menjadi Rp. 10 triliun. Sementara produk jamu yang paling laku di pasaran adalah dalam bentuk ekstrak dan aromaterapi.
Data di atas menunjukkan adanya potensi besar yang masih sangat mungkin dikembangkan secara nasional. Apalagi, Data Kementerian Perdagangan Indonesia mencatat nilai impor obat tradisional dan herbal sepanjang 2011 mencapai US$ 40,5 juta. Amerika, Malaysia, dan Korea Selatan menjadi tiga negara terbesar pemasok obat tradisional dan herbal di pasar domestik.
Angka-angka tersebut juga sinyal bahwa pangsa pasar jamu tradisional di pasar domestik masih sangat besar dan pasti bisa dilebarkan lagi, terutama melalui promosi dan peningkatan mutu atau kualitas higienitas jamu tradisional yang selama ini masih sering dipersoalkan. Artinya, industri jamu tradisional ini perlu mendapat sentuhan teknologi dari sisi proses produksinya sehingga mampu bersaing dengan produk-produk obat herbal yang saat ini juga tengah digandrungi masyarakat.
Dan sebagai potensi sumber ekonomi, industri jamu tradisional di Indonesia memiliki banyak sumber daya, baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam. Semua orang di dunia ini juga sudah lama mengenal bahwa Indonesia merupakan lumbung berbagai jenis tanaman yang berkhasiat besar untuk perawatan kesehatan maupun kecantikan. Misalnya, temu lawak, kunir, jahe, kencur,cepliksari,cabe,dawung, botor, dan sambiloto.
Bahkan, menurut catatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),  Indonesia memiliki lebih dari 30.000 dari 40.000 jumlah tanaman herbal di dunia. Dengan jumlah itu, Indonesia menempati posisi ketiga sebagai negara yang kaya akan tanaman herbal setelah Brazil dan Zaire.  Menariknya lagi, dari sekian banyak jenis tersebut terdapat sekitar 940 jenis yang berpotensi sebagai tumbuhan berkhasiat obat. Jumlah ini merupakan 90% dari jumlah tumbuhan obat di Asia. Potensi tanaman obat di Indonesia, termasuk tanaman obat kehutanan, apabila dikelola dengan baik akan sangat bermanfaat dari segi ekonomi, sosial budaya maupun lingkungan.  
Adapun dari sisi budaya, jamu tradisional merupakan warisan leluhur yang sangat khas nusantara, sehingga layak dipromosikan sebagai produk unggulan untuk ditawarkan ke dunia internasional.  Indonesia dan jamu adalah bagian yang tak bisa dipisahkan. Bagi masyarakat Indonesia, jamu merupakan resep turun temurun dari leluhur yang hingga kini masih dipertahankan dan dikembangkan. Dikenal pertama kali  di lingkungan istana atau keraton yaitu Kesultanan di Yogjakarta dan Kasunanan di Surakarta, jamu berkembang sampai saat ini tidak saja hanya di Indonesia tetapi sampai ke luar negeri.
Menurut data WHO Tahun 2005, sekitar 80 % penduduk dunia pernah menggunakan obat herbal diantaranya jamu. Di Indonesia, jamu sebagai bagian dari obat herbal atau ramuan yang telah diterima dan digunakan secara luas oleh masyarakat sebagai obat alternatif  dalam upaya pemeliharaan kesehatan. Menurut Riset Kesehatan Dasar, Kementerian Kesehatan Tahun 2010, sekitar 59,12 persen penduduk Indonesia pernah mengonsumsi jamu dan 95,6 persen diantaranya merasakan khasiat jamu bagi kesehatannya.
Itu tadi adalah angka-angka yang menjadikan pasar jamu masih bisa beroptimis ria. Apalagi, ada banyak sisi tradisi yang bisa menjadi nilai jual jamu tradisiolan disamping khasiat yang ditawarkan. Misalnya, keunikan racikannya, ketradisionalan proses produksinya, nilai-nilai mitos atau legenda dari sebuah produk dan lain sebagainya.
Singkatnya, untuk menembus pasar yang kian lebar itu, yang perlu diupayakan bersama-sama saat ini adalah pengembangan kreatifitas dan inovasi untuk mengangkat citra jamu tradisional di pasar nasioanal maupun internasional, sehingga bisa memiliki daya jual yang tinggi sebagaimana produk-produk obat herbal dari China maupun India.
Kreatifitas ini juga diperlukan oleh para pelaku industri jamu tradisional dalam rangka memenuhi permintaan produk-produk jamu yang bisa ditawarkan sebagai alternatif obat untuk penyakit-penyakit modern semacam diabetes, stroke dan lain sebagainya.
Dan tak kalah menariknya, adalah persoalan kemasan. Dalam hal yang satu ini, kemasan jamu tradisional kita masih membutuhkan banyak kretivitas agar tampil lebih menarik dan sesuai dengan selera masa kini, sehingga mampu menembus pangsa pasar baru yang masih terbuka lebar.